MAKALAH
“PROFESIONALISASI GURU”
Dosen pengampu : Dra.
Ika Ernawati, M.Pd.
Disusun
Oleh :
1.
RAKHMAN HABIBI (11144200239)
2.
RAHMAT HADIANTO (11144200228)
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
BIMBINGAN DAN KONSELING
UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA
TAHUN AKADEMIK
2012
PROFESIONALISASI GURU
Abstrak
Menjadi
seorang guru diperlukan syarat-syarat khusus dan kompetensi tertentu apalagi
sebagai guru yang profesional, ia harus menguasai seluk beluk pendidikan dan
pengajaran dengan berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Guru merupakan jabatan
profesi yang memerlukan keahlian khusus sebagaimana halnya dokter, apoteker,
pengacara, dan lain lain. Masalah utama pekerjaan profesi adalah implikasi dan
konsekwensi jabatan tersebut terhadap tugas dan tanggung jawabnya. Ciri-ciri
pokok pekerjaan yang bersifat profesional, yakni: (1) dipersiapkan melalui
proses pendidikan dan latihan secara formal, (2) mendapat pengakuan dari
masyarakat, (3) adanya organisasi profesi dan (4) mempunyai kode etik sebagai
landasan dalam melaksanakan tugas.
Banyak guru yang tidak memahami hakekat profesinya sehingga ia tidak bertindak
profesional dalam mengemban tugasnya.
Kenyataan dilapangan mengindika-sikan bahwa jabatan guru masih jauh dari hakekat
profesi keguruan, sehingga kurang mendapat penghargaan dan pengakuan di mata
masyarakat. Intervensi penyelenggara pendidikan dan bahkan
masyarakat terhadap pekerjaan guru semakin menurunkan derajat profesionalisme
guru.
Pendahuluan
Hampir
semua golongan masyarakat masih cenderung memandang bahwa guru merupakan
pekerjaan profesi yang tingkatannya paling rendah dibanding profesi lain. Tidak
seperti halnya dokter yang dipandang oleh masyarakat sebagai pekerjaan profesi
yang derajatnya paling tinggi. Rendahnya pengakuan masyarakat terhadap profesi
guru disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor
pertama adalah adanya pandangan sebagian masyarakat bahwa siapa pun dapat
menjadi guru asalkan ia berpengetahuan. Kekurangan tenaga guru di daerah
terpencil, memberikan peluang untuk mengangkat seseorang yang tidak mempunyai
kewenangan profesional. Faktor kedua adalah
pandangan guru itu sendiri terhadap
profesinya. Banyak guru yang tidak menghargai profesi yang disandangnya,
dan tidak berusaha untuk mengembangkan profesi tersebut. Perasaan rendah diri
karena menjadi guru, penyalahgunaan profesi untuk kepuasaan dan kepentingan
dirinya, ketidakmampuan guru melaksanakan tugas profesinya, komersialisasi
mengajar, dan lain-lain, sering menyebabkan pudarnya wibawa guru sehingga
pengakuan profesi guru semakin merosot. Itulah sebabnya pengakuan dan usaha
menegakkan profesi guru harus dimulai dari guru itu sendiri. Usaha yang dapat
dilakukan harus dimulai dari pengakuan secara sadar akan makna profesi,
menghargai dan mencintai tugas profesinya, serta berusaha untuk mengembangkan profesi
yang disandangnya.
Di lain pihak, dapat dikatakan
bahwa guru merupakan faktor penentu keberhasilan
pendidikan, sebab guru memegang peranan utama dalam proses mengajar belajar
yang merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan. Proses mengajar
belajar merupakan proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa
atas dasar hubungan timbal-balik yang berlangsung secara edukatif untuk
mencapai tujuan tertentu.
Guru
merupakan jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian khusus. Pekerjaan ini
tidak dapat dilakukan tanpa memiliki keahlian sebagai guru. Untuk menjadi guru,
diperlukan syarat-syarat khusus dan kompetensi tertentu, apalagi sebagai guru
yang profesional, ia harus menguasai seluk-beluk pendidikan dan pengajaran
dengan berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Ilmu pengetahuan tersebut perlu
dibina dan dikembangkan melalui masa pendidikan tertentu atau pendidikan
prajabatan.
Jabatan guru memiliki tugas yang cukup banyak, baik
yang terikat oleh dinas maupun di
luar dinas. Pengelompokan tugas-tugas guru terdiri dari tiga jenis, yaitu: (1)
tugas dalam bidang profesi, (2) tugas kemanusiaan, dan (3) tugas dalam
bidang kemasyarakatan. Salah satu di antara ketiga tugas guru tersebut (yakni
tugas dalam bidang profesi yang meliputi: mendidik, mengajar, dan melatih) akan
dibahas secara singkat dalam makalah ini.
A. Profesi Guru
1. Pengertian dan Karakteristik Profesi
Secara sederhana pekerjaan yang
bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang secara khusus disiapkan untuk itu, dan
bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak memperoleh
pekerjaan lainnya. Kata-kata “dipersiapkan untuk itu” dapat diartikan melalui proses pendidikan atau dapat pula
diartikan melalui proses latihan.
Makin tinggi tingkat pendidikan yang harus dipenuhi oleh suatu pekerjaan yang
bersifat profesi, makin tinggi pula derajat profesi yang harus disandang oleh
orang yang menggelutinya. Dengan kata lain, tinggi rendahnya pengakuan
profesionalisme bergantung kepada keahlian dan tingkat pendidikan yang
ditempuhnya.
Sudjana (1998)
mengemukakan empat ciri pokok pekerjaan yang bersifat profesional, yakni:
(1) dipersiapkan melalui proses pendidikan dan latihan secara formal, (2)
mendapat pengakuan dari masyarakat, (3) adanya organisasi profesi, dan
(4) mempunyai kode etik sebagai landasan dalam melaksanakan tugas.
Schein (1972) mengemukakan ciri-ciri
profesional sebagai berikut: (1) bekerja sepenuhnya dalam jam-jam kerja (fulltime), (2) pilihan pekerjaan itu
didasarkan pada motivasi yang kuat, (3)
memiliki seperangkat pengetahuan, ilmu, dan keterampilan khusus yang
diperoleh lewat pendidikan dan atau latihan yang lama, (4) membuat keputusan
sendiri dalam menyelesaikan pekerjaan atau menangani klien, (5) pekerjaan
berorientasi kepada pelayanan, bukan untuk kepentingan pribadi, (6) pelayanan
itu didasarkan atas kebutuhan objektif klien, (7) memiliki otonomi untuk
bertindak dalam menyelesaikan persoalan klien, (8) menjadi anggota organisasi
profesi, sesudah memenuhi persyaratan atau kriteria tertentu, (9) memiliki
kekuatan dan status yang tinggi sebagai keahlian dalam spesialisasinya, dan
(10) keahlian itu tidak boleh diiklankan untuk mencari klien.
Selanjutnya, dalam Konvensi Nasional
Pendidikan Indonesia I Tahun 1988, juga telah ditentukan syarat-syarat suatu
pekerjaan profesional, yaitu: (1) atas dasar panggilan hidup yang dilakukan
sepenuh waktu serta untuk jangka waktu yang lama, (2) telah memiliki
pengetahuan dan keterampilan khusus, (3) dilakukan menurut teori, prinsip,
prosedur, dan anggapan-anggapan dasar yang sudah baku sebagai pedoman dalam
melayani klien, (4) sebagai pengabdian kepada masyarakat, bukan mencari
keuntungan finansial, (5) memiliki kecakapan
diagnostik dan kompetensi aplikatif dalam melayani klien, (6) dilakukan
secara otonom yang bisa diuji oleh rekan-rekan seprofesi, (7) mempunyai kode etik yang dijunjung tinggi oleh masyarakat,
dan (8) pekerjaan dilakukan untuk melayani mereka yang membutuhkan
(Pidarta, 1997).
Profesi
pendidikan di Amerika Serikat memiliki karakteristik yang secara substantif tidak berbeda dengan hasil Konvensi
Nasional Pendidikan Indonesia I, yaitu: (1) sebagai pekerja sosial yang unik,
jelas, dan penting, (2) menekankan teknik intelektual, (3) membutuhkan
pendidikan spesialisasi dalam waktu panjang, (4) memerlukan otonomi yang luas
sebagai individu ataupun organisasi profesi, (5) otonomi individu mendapat
persetujuan dari organisasi profesi, (6) tekanan pada jasa lebih besar
dibandingkan dengan hasil ekonomis, baik secara perseorangan maupun secara kelompok
profesional, (7) memiliki organisasi profesi secara otonom, dan (8) ada kode
etik yang jelas dan tegas. Karakteristik-karakteristik tersebut dikemukakan
oleh Imran Manan (1989).
Ikatan
Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) (Pidarta, 1997) menyimpulkan bahwa
ciri-ciri utama profesi adalah: (1) memiliki fungsi dan signifikansi sosial,
(2) memiliki keahlian dan keterampilan tingkat tertentu, (3) memperoleh
keahlian dan keterampilan melalui metode ilmiah, (4) memiliki batang tubuh
disiplin ilmu tertentu, (5) studi dalam waktu
lama di perguruan tinggi, (6) pendidikan tersebut juga merupakan wahana
sosialisasi nilai-nilai profesional di kalangan mahasiswa/siswa yang
mengikutinya, (7) berpegang teguh kepada
kode etik yang dikontrol oleh organisasi profesi dengan sanksi-sanksi tertentu,
(8) bebas memutuskan sendiri dalam memecahkan masalah bertalian dengan
pekerjaannya, (9) memberi layanan sebaik-baiknya kepada klien dan otonom dari
campur tangan pihak luar, dan (10) mempunyai prestise yang tinggi di masyarakat
dan berhak mendapat imbalan yang layak.
Dari berbagai pendapat yang telah dikemukakan mengenai
karakteristik profesi, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri pekerja atau orang
yang memangku jabatan profesional adalah sebagai berikut.
(1)
Memilih suatu jabatan atau pekerjaan
profesi didasari atas motivasi yang kuat dan merupakan panggilan nurani orang
yang bersangkutan.
(2)
Memiliki ilmu pengetahuan dan
keterampilan khusus yang bersifat dinamis dan terus berusaha untuk
mengembangkannya.
(3)
Ilmu pengetahuan dan keterampilan khusus
yang dimiliki tersebut diperoleh melalui pendidikan dan atau latihan dalam
jangka waktu yang lama.
(4)
Mempunyai
otonomi dalam bertindak ketika melayani klien.
(5)
Mengabdi kepada masyarakat atau
berorinetasi kepada layanan sosial, dan bukan untuk mendapatkan keuntungan
finansial.
(6)
Tidak mengiklankan atau mempromosikan
keahliannya untuk mendapatkan klien.
(7)
Menjadi
anggota organisasi profesi.
(8)
Organisasi
profesi tersebut menentukan persyaratan penerimaan anggota, membina profesi anggota, mengawasi perilaku anggota,
memberi sanksi kepada anggota yang melanggar kode etik, dan memperjuangkan
kesejahteraan anggota.
(9)
Menaati atau mematuhi kode etik
profesi.
(10)
Mempunyai kekuatan dan status yang
tinggi serta diakui oleh masyarakat sebagai konsekuensi keahlian yang ia miliki.
(11) Berhak mendapat imbalan yang layak.
2. Profesionalisasi Guru dan Kompetensinya
Bila
diperhatikan karakteristik suatu pekerjaan yang bersifat profesional seperti
telah dikemukakan di atas, maka akan tampak bahwa profesi guru tidak mungkin
dapat dikenakan kepada sembarang orang yang dipandang oleh masayarakat umum
sebagai guru. Pada umumnya masyarakat berpandangan bahwa pekerjaan guru yang
berupa mendidik dan mengajar dapat dilakukan oleh siapa saja. Sebagaimana
Pidarta (1997) mengemukakan bahwa kalau mendidik diartikan sebagai memberi
nasehat, petunjuk, mendorong agar rajin belajar, memberi motivasi, menjelaskan
sesuatu atau ceramah, melarang perilaku yang tidak baik, menganjurkan dan
menguatkan perilaku yang baik, dan menilai apa yang telah dipelajari anak, maka
memang hampir semua orang bisa melakukannya
dan tidak perlu bersusah-payah membuat orang menjadi pendidik profesional.
Namun demikian, apakah mendidik seperti ini
dapat menjamin anak-anak untuk berkembang sempurna secara batiniah dan
lahiriah?
Untuk memperjelas masalah di atas, kita harus memahami
dengan baik pengertian mendidik. Pekerjaan mendidik mencakup banyak hal, yaitu
segala sesuatu yang bertalian dengan perkembangan manusia. Kadang orang
mengatakan bahwa mendidik adalah me-manusiakan manusia. Ada pula yang mengemukakan bahwa mendidik adalah
membudayakan manusia. Pengertian mendidik yang
relatif operasional dikemukakan oleh Pidarta (1997) bahwa mendidik adalah suatu
upaya untuk membuat anak-anak mau dan dapat belajar atas dorongan diri sendiri
untuk mengembangkan bakat, pribadi, dan potensi-potensi lainnya secara optimal.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa mendidik memusatkan diri pada upaya pengembangan
afeksi anak-anak, sesudah itu barulah pada pengembangan kognisi dan
keterampilannya. Berkembangnya afeksi yang positif terhadap belajar, merupakan
kunci keberhasilan belajar berikutnya, termasuk keberhasilan dalam meraih
prestasi kognisi dan keterampilan. Bila afeksi anak sudah berkembang secara
positif terhadap belajar, maka guru, orang tua, maupun anggota masyarakat tidak
perlu bersusah payah membina mereka agar rajin belajar. Apa pun yang terjadi mereka akan belajar terus untuk mencapai
cita-citanya.
Melakukan
pekerjaan mendidik seperti yang telah dikemukakan di atas tidaklah gampang.
Hanya orang-orang yang sudah belajar banyak tentang pendidikan dan sudah
terlatih yang mampu melaksanakannya. Ini berarti pekerjaan mendidik memang
harus profesional.
Guru harus dapat membangkitkan minat dan kemauan anak
untuk belajar, memahami cara belajar, senang belajar, dan
tidak pantang mundur untuk belajar meskipun banyak rintangan yang dihadapi.
Inilah tuntutan masayarakat sebagai konsekuensi jabatan profesi yang disandang oleh guru. Hal ini cukup beralasan
sebab guru telah dibekali ilmu pendidikan dan ilmu tertentu untuk
diajarkan selama menjalani studi dalam waktu yang relatif cukup lama. Dengan
cara mendidik seperti yang telah dikemuakan, citra pendidikan di mata
masyarakat dapat terdongkrak. Ini pula merupakan tantangan bagi para pendidik
bila ingin profesinya mendapat pengakuan dan tidak diragukan oleh masyarakat.
Sekilas Mengenai Kondisi Guru di Lapangan
Kenyataan di lapangan menunjukkan
bahwa masih banyak guru yang melakukan tugasnya hanya dengan mengajar, membuat
satuan pelajaran, membuat rencana pelajaran, membuat alokasi waktu dalam bentuk
program tahunan dan program caturwulan, melakukan evaluasi hasil belajar yang
hanya terbatas pada aspek kognitif siswa, dan menganalisis daya serap siswa. Ia
cenderung tidak mempedulikan kondisi psikologis yang terjadi pada siswa di kala
proses mengajar belajar berlangsung karena mengejar target kurikulum. Hal ini
dilakukan oleh guru karena takut “dimarahi” oleh kepala sekolah bila target
kurikulum belum tercapai. Ada juga guru (untuk mata pelajaran tertentu) yang malas
memeriksa hasil ulangan siswa karena kepala sekolah telah menginstruksikan
batas minimum nilai yang harus dimasukkan ke buku rapor. Guru tersebut
beranggapan bahwa untuk apa diperiksa, toh nilainya juga sudah ada patokannya.
Adanya patokan nilai seperti ini akan memberikan peluang kepada guru untuk
memanipulasi nilai. Sudah tentulah kondisi dan tindakan seperti ini tidak
memenuhi kriteria keprofesionalan. Dengan kata lain ia tidak bertindak secara
profesional sebagai seorang guru. Dengan demikian, harus diakui bahwa masih ada
guru di lapangan yang belum atau kurang profesional. Dan hal inilah yang selalu
disorot oleh masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan sejumlah cara dan tempat
untuk mengembangkan profesi guru.
Kurang profesionalnya guru dalam bertindak, tidak
sepenuhnya dan kurang bijaksana bila kita hanya menuding
bahwa hanya guru tersebutlah yang tidak profesional. Sebab pihak penyelenggara
pendidikan (kepala sekolah, kakandep, kakanwil, beserta seluruh jajarannya)
kadang kala kurang menghargai jabatan profesi guru seperti kenyataan yang saya
ungkapkan di atas. Dengan demikian, para penyelenggara pendidikan pun perlu ditingkatkan derajat keprofesionalannya dalam
menjalankan tugas dan memangku jabatannya.
Demikianlah
sekelumit pandangan penulis mengenai guru di lapangan dan pihak penyelenggara
pendidikan. Berikut ini akan dikemukakan mengenai tugas dan tanggung jawab guru
beserta kompetensinya sebagai bagian yang takterpisahkan dengan tugas
profesinya.
Arifin (2000) mengemukakan guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan
mempunyai; (1) dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat
teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21; (2) penguasaan kiat-kiat
profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai
ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan
proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan
hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia; (3)
pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan
profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara lembaga
pendidikan yang menyediakan layanan sebagai pencetak guru dengan praktek
pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya
program pre-service dan in-service karena berbagai pertimbangan.
Mengembangkan profesi tenaga pendidik bukan sesuatu yang mudah. Hal ini
disebabkan banyak faktor yang dapat mempengaruhinya. Untuk itu pencermatan
lingkungan dimana pengembangan itu dilakukan menjadi penting, terutama bila
faktor tersebut dapat menghalangi upaya pengembangan tenaga pendidik.
Pengembangan profesi tenaga pendidik pada dasarnya hanya akan berhasil dengan
baik apabila dampaknya dapat menumbuhkan sikap inovatif. Sikap inovatif ini
akan makin memperkuat kemampuan profesional tenaga pendidik. Menurut Prof
Idochi diperlukan tujuh pelajaran guna mendorong tenaga pendidik bersikaf
inovatif serta dapat dan mau melakukan inovasi. Ketujuh pelajaran itu adalah
sebagai berikut :
1. Belajar kreatif
2. Belajar seperti kupu-kupu
3. Belajar keindahan dunia dan
indahnya jadi pendidik
4. Belajar mulai dari yang
sederhana dan konkrit
5. Belajar rotasi kehidupan
6. Belajar koordinasi dengan
orang profesional
7. Belajar ke luar dengan
kesatuan fikiran
Ketujuh pelajaran di atas merupakan pelajaran penting bagi tenaga pendidik
dalam upaya mengembangkan diri sendiri menjadi orang profesional. Dalam kaitan
ini, ketujuh pelajaran tersebut membentuk suatu keterpaduan dan saling terkait
dalam membentuk tenaga pendidik yang profesional dan inovatif.
Tugas dan Tanggung Jawab Guru Beserta Kompetensinya
Masalah utama pekerjaan profesi adalah implikasi dan
konsekuensi jabatan tersebut terhadap tugas dan tanggung
jawabnya. Hal ini sangat penting karena di sinilah perbedaan pokok antara
profesi yang satu dengan profesi yang lainnya.
Menurut
Peters (1963), tugas dan tanggung jawab guru terdiri dari: (1) guru sebagai
pengajar, (2) guru sebagai pembimbing, dan (3) guru sebagai administrator
kelas. Pendapat lain dikemukakan oleh Usman (1994) yang mengelompokan
tugas-tugas guru atas tiga jenis, yaitu: (1) tugas dalam bidang profesi, yang
meliputi: mendidik, mengajar, dan melatih, (2) tugas kemanusiaan, dan (3) tugas
dalam bidang kemasyarakatan. Bila kedua pendapat ini dikaji, maka pendapat Usman lebih
luas dibanding pendapat Peters. Dalam situasi di lapangan,
tugas dan tanggung jawab guru yang menonjol adalah sebagai pengajar dan
administrator kelas. Tugas mendidik belum membudaya di kalangan para guru, padahal
hal itu termasuk konsekuensi dari jabatan profesional yang disandangnya. Memang tugas mendidik itu cukup berat, sebab
pekerjaan mengajar, membimbing, melatih, dan memfungsikan diri sebagai orang tua di sekolah termasuk pekerjaan
mendidik. Dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa bila
guru telah melakukan pekerjaan mendidik maka guru tersebut juga telah melakukan
tugas-tugas lainnya. Jadi tugas pokok seorang guru adalah mendidik. Pencantuman
dan pengelompokan beberapa tugas lainnya hanyalah untuk mengeksplisitkan saja
agar kelihatan lebih operasional.
Guru
dalam melaksanakan tugasnya harus mempunyai kemampuan dasar yang disebut kompetensi. Menurut Sudjana (1998),
kompetensi tersebut terdiri dari tiga bidang, yaitu: (1) kompetensi bidang kognitif,
(2) kompetensi bidang sikap, dan (3) kompetensi bidang perilaku/performance.
Kompetensi bidang kognitif, artinya kemampuan intelektual yang dimiliki
oleh guru, seperti penguasaan materi pelajaran, pengetahuan
mengenai cara mengajar, pengetahuan mengenai belajar dan tingkah laku individu,
pengetahuan tentang bimbingan penyuluhan, pengetahuan tentang administrasi
kelas, pengetahuan tentang cara menilai hasil belajar siswa, pengetahuan
tentang kemasyaralatan serta pengetahuan umum lainnya.
Kompetensi bidang sikap,
artinya kesiapan dan kesediaan guru terhadap berbagai hal yang berkenaan dengan tugas dan profesinya. Misalnya sikap
menghargai pekerjaannya, mencintai dan memiliki perasaan senang terhadap
mata pelajaran yang dibinanya, sikap toleransi terhadap rekan seprofesinya,
memiliki kemauan yang kers untuk meningkatkan hasil pekerjaannya.
Kompetensi perilaku/performance, artinya kemampuan guru dalam berbagai
keterampilan dan berperilaku, seperti
keterampilan mengajar, membimbing, menilai, menggunakan alat bantu pengajaran,
bergaul atau berkomunikasi dengan siswa, keterampilan menumbuhkan semangat
belajar siswa, keterampilan merancang dan menyusun persiapan mengajar,
keterampilan melaksanakan administrasi kelas, dan lain-lain.
Kompetensi
kognitif berkenaan dengan aspek teori atau pengetahuan, sedangkan kompetensi
perilaku berkenaan dengan praktek pelaksanaan sebagai implementasi dari teori
atau pengetahuan yang dimiliki oleh guru. Komptensi guru dalam bidang sikap
berkenaan dengan aspek psikologis, terutama yang terkait dengan tugas dan
tanggung jawabnya yang merupakan implikasi dari jabatan profesi yang
disandangnya. Ketiga bidang kompetensi tersebut saling berhubungan dan saling
mempengaruhi satu sama lain.
Kompetensi guru di
Indonesia telah dikembangkan oleh Proyek Pembinaan Pendidikan Guru (P3G)
Depdikbud. Pada dasarnya kompetensi guru menurut P3G bertolak dari analisis
tugas seorang guru. Ada sepuluh kompetensi guru menurut P3G, yaitu sebagai
berikut:
(1) menguasai bahan,
(2) mengelola program belajar
mengajar,
(3) mengelola kelas,
(4) menggunakan media/sumber
belajar,
(5) menguasai landasan
kependidikan,
(6) mengelola interaksi belajar
mengajar,
(7) menilai prestasi siswa,
(8)
mengenal fungsi dan layanan bimbingan
penyuluhan,
(9)
mengenal dan menyelenggarakan
administrasi sekolah, dan
(10)
memahami dan menafsirkan hasil
penelitian guna keperluan pengajaran.
3. Kode Etik
Guru
Seorang guru adalah
seorang pekerja profesional yang mendapat pendidikan dan keahlian untuk
mencapai kualifikasi tertentu. Dalam kegiatan belajar mengajar, guru berhubungan
dengan pertimbangan nilai-nilai. Pendidikan berhubungan erat dengan
transformasi nilai-nilai dari masyarakat kepada anak didik atau dari diri guru
itu sendiri kepada siswa. Dalam kaitan tersebut, diperlukan etika profesi
keguruan. Jadi etika profesi keguruan adalah ketentuan-ketentuan moral atau
kesusilaan yang merupakan pedoman bagi guru dalam melakukan tugasnya. Kode etik
guru di Indonesia dilahirkan oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Kode
etik tersebut adalah sebagai berikut:
(1) berbakti dalam membimbing peserta
didik,
(2) memiliki
kejujuran profesional dalam melaksanakan kurikulum sesuai dengan kebutuhan masing-masing peserta didik,
(3)
mengadakan komunikasi untuk
mendapatkan informasi tentang peserta didik,
(4)
menciptakan suasana belajar yang
kondusif dan mengadakan hubungan dengan orang tua siswa,
(5) memelihara hubungan dengan masyarakat
untuk kepentingan pendidikan,
(6) secara individual atau berkelompok
mengembangkan profesi,
(7)
menciptakan dan memelihara hubungan
baik antarpendidik,
(8)
secara bersama-sama memelihara dan
meningkatkan mutu organisasi profesi, dan
(9) melaksanakan segala kebijakan
pemerintah dalam bidang pendidikan.
PENUTUP
Demikianlah uraian mengenai
profesionalisasi guru yang sempat penulis paparkan dalam makalah ini. Uraian
tersebut agaknya bersifat harapan, sebab harus diakui bahwa beberapa kenyataan
di lapangan menunjukkan bahwa jabatan guru masih jauh dari profesi guru yang
sesungguhnya, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa mereka itu “berstatus
guru”. Dengan kata lain, kita masih harus banyak berbenah diri untuk menjadi
guru yang profesional, meskipun kita telah “berstatus guru”. Ini merupakan suatu tantangan bagi para guru untuk mendongkrak derajat
profesinya agar mendapat penghargaan dan pengakuan di mata masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M., 1996. Guru dalam Proses Belajar Mengajar.
Cetakan Kesembilan. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Kartikawati,
E. dan Willem Lusikooy, 1993. Profesi
Keguruan. Depdikbud Ditjen Dikdasmen, Bagian Proyek Penataran
Guru SLTP Setara D-III, Jakarta.
Manan, I., 1989. Dasar-dasar Sosial Budaya Pendidikan.
Depdikbud Ditjen Dikti. Jakarta: P2LPTK.
Peters,
B. and Farwell, 1963. Introduction to
Teaching. New York: McMillan Company.
Pidarta,
M., 1997. Landasan Kependidikan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Schein, E.H. and Diane W. Kommers, 1972. Professional Education. New York: McGraw Hill Book Company.
Sujdana, N., 1998. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar.
Cetakan Keempat. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Usman, M.U., 1994. Menjadi Guru Profesional. Cetakan Kelima.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar