Selasa, 25 Desember 2012

Studi Kasus dalam bimbingan dan konseling

 
BAB  I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam perkembangan dan kehidupan setiap manusia sangat mungkin timbul berbagai permasalahan. Baik yang dialami secara individual, kelompok, dalam keluarga, lembaga tertentu atau bahkan bagian masyarakat secara lebih luas. Untuk itu ditentukan adanya bimbingan sebagai suatu usaha pemberian bantuan yang diberikan baik kepada individu maupun kelompok dalam rangka memecahkan masalah yang dihadapi. Salah satu hal penting yang perlu diperhatikan alam memberikan bimbingan adalah memahami individu (dalam hal ini peserta didik) secara keseluruhan, baik masalah yang dihadapinya maupun latar belakangnya. Sehingga peserta didik diharapakan dapat memperoleh bimbingan yang tepat dan terarah.
Untuk dapat memahami peserta didik secara lebih mendalam, maka seorang pembimbing maupun konselor perlu mengumpulkan berbagai keterangan atau data tentang peserta didik yang meliputi berbagai aspek, seperti: aspek sosial kultural, perkembangan individu, perbedaan individu, adaptasi, masalah belajar dan sebagainya. Dalam rangka mencari informasi tentang sebab-sebab timbulnya masalah serta untuk menentukan langkah-langkah penanganan masalah tersebut maka diperlukan adanya suatu tehnik atau metode pengumpulan data atau fakta-fakta yang terkait dengan permasalahan yang ada. Untuk mengetahui kondisi dan keadaan siswa banyak metode dan pendekatan yang dapat digunakan, salah satu metode yang dapat digunakan yaitu studi kasus (Case Study).





B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah : 
1.      Apa itu studi kasus  ?
2.      Apa tujuan diadakan studi kasus  ?
3.      Bagaimana langkah – langkah studi kasus ?
4.      Apa manfaat studi kasus ?
5.      Apa saja kelebihan dan kelemahan studi kasus ?



C. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1.      Menjelaskan pengertian studi kasus.
2.      Menjelaskan langkah – langkah studi kasus.
3.      Menjelaskan tujuan, manfaat dan kelemahan serta kelebihan studi kasus.












BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Studi Kasus
Studi kasus adalah salah satu metode penelitian dalam ilmu sosial. Dalam riset yang menggunakan metode ini, dilakukan pemeriksaan longitudinal yang mendalam terhadap suatu keadaan atau kejadian yang disebut sebagai kasus dengan menggunakan cara-cara yang sistematis dalam melakukan pengamatan, pengumpulan data, analisis informasi, dan pelaporan hasilnya. Sebagai hasilnya, akan diperoleh pemahaman yang mendalam tentang mengapa sesuatu terjadi dan dapat menjadi dasar bagi riset selanjutnya. Studi kasus dapat digunakan untuk menghasilkan dan menguji hipotesis.
Pendapat lain menyatakan bahwa studi kasus adalah suatu strategi riset, penelaahan empiris yang menyelidiki suatu gejala dalam latar kehidupan nyata. Strategi ini dapat menyertakan bukti kuatitatif yang bersandar pada berbagai sumber dan perkembangan sebelumnya dari proposisi teoretis. Studi kasus dapat menggunakan bukti baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Penelitian dengan subjek tunggal memberikan kerangka kerja statistik untuk membuat inferensi dari data studi kasus kuantitatif.
Studi kasus adalah penelitian yang berupaya untuk mengungkapkan berbagai pelajaran yang berharga (best learning practices) yang diperoleh dari pemahaman terhadap kasus yang diteliti (Lincoln dan Guba : 1985 ).
Studi kasus merupakan metode penelitian yang mampu membawa pemahaman tentang isu yang kompleks dan dapat memperkuat pemahaman tentang pengetahuan yang telah diketahui sebelumnya (Doodley, 2005 ).
Studi kasus merupakan pengujian secara rinci terhadap satu latar atau satu orang subjek atau satu tempat penyimpanan dokumen atau satu peristiwa tertentu (Bogdan dan Bikien : 1982 ).

I.                   Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam Studi Kasus :
1.      Seseorang harus mampu mengajukan pertanyaan yang baik dan mampu untuk menginterpretasikan jawaban-jawaban.
2.      Seseorang harus dapat menjadi pendengar yang baik dan tidak terperangkap oleh prakonsepsi sendiri.
3.      Seseorang diharapkan mampu menyesuaikan diri dan fleksibel agar situasi yang baru dialami dapat dipandang sebagai kesempatan/ peluang bukan ancaman.
4.      Seseorang harus memiliki daya tangkap yang kuat terhadap isu-isu yang akan diteliti, apakah hal ini merupakan orientasi teoritis atau kebijakan.
5.      Sesorang harus tidak bias, oleh anggapan-anggapan yang sudah ada sebelumnya, seseorang harus peka dan responsif terhadap bukti-bukti yang kontradiktif.
II.                3 Prinsip pengumpulan data :
1.      Menggunakan multi sumber bukti, menggunakan banyak informan dan memperhatikan sumber-sumber bukti lainnya.
2.      Menciptakan data dasar studi kasus, mengorganisir dan mengkoordinasikan data yang telah terkumpul, biasanya studi kasus memakan waktu yang cukup lama dan data yang diperolehnya pun cukup banyak sehingga perlu dilakukan pengorganisasian data agar data yang terkumpul tidak hilang saat dibutuhkan nanti.
3.      Memelihara rangkaian bukti, tujuannya agar bisa ditelusuri dari bukti-bukti yang ada, berkenaan dengan studi kasus yang sedang dijalankan. Penting ketika menelusuri kekurangan data lapangan.


B.     Macam – Macam Studi Kasus
1.      Studi kasus observasi, mengutamakan teknik pengumpulan datanya melalul observasi peran-serta atau pelibatan (participant observation), sedangkan fokus studinya pada suatu organisasi tertentu.. Bagian-bagian organisasi yang menjadi fokus studinya antara lain: (a) suatu tempat tertentu di dalam sekolah; (b) satu kelompok siswa; (c) kegiatan sekolah.
2.      Studi kasus sejarah hidup, yang mencoba mewawancarai satu onang dengan maksud mengumpulkan narasi orang pertama dengan kepemilikan sejarah yang khas. Wawancara sejarah hiclup biasanya mengungkap konsep karier, pengabdian hidup seseorang, dan lahir hingga sekarang. masa remaja, sekolah. topik persahabatan dan topik tertentu lainnya.
3.      Studi kasus kemasyarakatan, merupakan studi tentang kasus kemasyarakatan (community study) yang dipusatkan pada suatu lingkungan tetangga atau masyarakat sekitar (kornunitas), bukannya pada satu organisasi tertentu bagaimana studi kasus organisasi dan studi kasus observasi.
4.       Studi kasus analisis situasi, jenis studi kasus ini mencoba menganalisis situasi terhadap peristiwa atau kejadian tertentu. Misalnya terjadinya pengeluaran siswa pada sekolah tertentu, maka haruslah dipelajari dari sudut pandang semua pihak yang terkait, mulai dari siswa itu sendiri, teman-temannya, orang tuanya, kepala sekolah, guru dan mungkin tokoh kunci lainnya.
5.      Mikroethnografi, merupakan jenis studi kasus yang dilakukan pada unit organisasi yang sangat kecil, seperti suatu bagian sebuah ruang kelas atau suatu kegiatan organisasi yang sangat spesifik pada anak-anak yang sedang belajar menggambar.

C.    Langkah – Langkah Penelitian Studi Kasus
1.      Pemilihan kasus: dalam pemilihan kasus hendaknya dilakukan secara bertujuan(purposive) dan bukan secara rambang. Kasus dapat dipilih oleh peneliti denganmenjadikan objek orang, lingkungan, program, proses, dan masvarakat atau unit sosial. Ukuran dan kompleksitas objek studi kasus haruslah masuk akal, sehinggadapat diselesaikan dengan batas waktu dan sumber-sumber yang tersedia.
2.      Pengumpulan data: terdapat beberapa teknik dalarn pengumpulan data, tetapi yang lebih dipakai dalarn penelitian kasus adalah observasi, wawancara, dan analisis dokumentasi. Peneliti sebagai instrurnen penelitian, dapat menyesuaikan cara pengumpulan data dengan masalah dan lingkungan penelitian, serta dapat mengumpulkan data yang berbeda secara serentak.
3.      Analisis data: setelah data terkumpul peneliti dapat mulai mengagregasi, mengorganisasi, dan mengklasifikasi data menjadi unit-unit yang dapat dikelola. Agregasi merupakan proses mengabstraksi hal-hal khusus menjadi hal-hal umum guna menemukan pola umum data. Data dapat diorganisasi secara kronologis, kategori atau dimasukkan ke dalam tipologi. Analisis data dilakukan sejak peneliti di lapangan, sewaktu pengumpulan data dan setelah semua data terkumpul atau setelah selesai dan lapangan.
4.      Perbaikan (refinement): meskipun semua data telah terkumpul, dalam pendekatan studi kasus hendaknya Dilakukan penyempurnaan atau penguatan (reinforcement) data baru terhadap kategori yang telah ditemukan. Pengumpulan data baru mengharuskan peneliti untuk kembali ke lapangan dan barangkali harus membuat kategori baru, data baru tidak bisa dikelompokkan ke dalam kategori yang sudah ada.
5.      Penulisan laporan: laporan hendaknya ditulis secara komunikatif, rnudah dibaca, dan mendeskripsikan suatu gejala atau kesatuan sosial secara jelas, sehingga mempermudahkan pembaca untuk memahami seluruh informasi penting. Laporan diharapkan dapat membawa pembaca ke dalam situasi kasus kehidupan seseorang atau kelompok.

D.     Ciri – Ciri Studi Kasus yang Baik
1.      Menyangkut sesuatu yang luar biasa, yang berkaitan dengan kepentingan umum atau bahkan dengan kepentingan nasional.
2.      Batas-batasnya dapat ditentukan dengan jelas, kelengkapan ini juga ditunjukkan oleh kedalaman dan keluasan data yang digali peneliti, dan kasusnya mampu  diselesaikan oleh penelitinya dengan balk dan tepat meskipun dihadang oleh berbagai keterbatasan.
3.      Mampu mengantisipasi berbagai alternatif jawaban dan sudut pandang yang berbeda-beda.
4.      Studi kasus mampu menunjukkan bukti-bukti yang paling penting saja,baik yang mendukung pandangan peneliti maupun yang tidak mendasarkan pninsip selektifitas.
5.      Hasilnya ditulis dengan gaya yang menarik sehingga mampu terkomunikasi pada pembaca.

E.     Tujuan Penulisan Studi Kasus
1.      Untuk  memperoleh gambaran yang jelas tentang suatu keadaan yang dianggap mempunyai masalah.
2.      Untuk mengetahui penyebab - penyebab dan menerapkan jenis dan sifat  serta latar belakang timbulnya masalah.
3.      Untuk memberi bekal pengalaman kepada seseorang khususnya calon guru agar lebih peka Terhadap permasalahan yang dihadapi siswa dan mampu memecahkannya.
4.      Memberikan bimbingan dan penyuluhan bagi siswa yang mempunyai masalah.
5.      Membantu siswa menyesuaia kan diri dengan lingkungan dan memecahkan masalah serta  mengembangkan potensi belajar siswa secara optimal.

F.     Kelemahan dan Kelebihan Studi Kasus
a.       Kelebihan Studi Kasus
1.      Studi kasus mampu mengungkapkan hal-hal yang spesifik,unik dan hal-hal yang amat mendetail yang tidak dapat diungkap oleh studi yang lain. Studi kasus mampu mengungkap makna di balik fenomena dalam kondisi apa adanya atau natural.
2.      Studi kasus tidak sekedar memberi laporan faktual,tetapi juga memberi nuansa,suasana kebatinan dan pikiran-pikiran yang berkembang dalam kasus yang menjadi bahan studi yang tidak dapat ditangkap oleh penelitian kuantitatif yang sangat ketat.
b.      Kelemahan Studi Kasus
1.      Dari kacamata penelitian kualitatif,studi kasus di persoalkan dari segi validitas,reliabilitas dan generalilsasi. Namun studi kasus yang sifatnya unik dan kualitatif tidak dapat diukur dengan parameter yang digunakan dalam penelitian kuantitatif,yang bertujuan untuk mencari generalisasi.  

G.    Manfaat Studi Kasus
1.      Manfaat studi kasus dalam layanan bimbingan siswa disekolah adalah merupakan suatu upaya dalam membantu siswa yang bermasalah supaya dapat memahami kemampuan dirinya dan lingkungan dalam usaha untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Selain itu juga,  dapat berguna untuk siswa agar mengetahui keadaan diri sendiri dan bisa beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya.
2.      Memberikan pengertian bahwa semua permasalahan itu pasti ada hikmahnya dan agar berusaha bersabar dalam menjalani hidupnya dan jangan lupa selalu berdo’a kepada tuhan yang maha kuasa.











BAB III
PENUTUP

A.  Kesimpulan
Studi kasus menjadi berguna apabila seseorang/peneliti ingin memahami suatu permasalahan atau situasi tertentu dengan amat mendalam dan dimana orang dapat mengidentifikasi kasus yang kaya dengan informasi ,kaya dalam pengertian bahwa suatu persoalan besar dapat dipelajari dari beberapa contoh fenomena dan biasanya dalam bentuk pertanyaan. Studi kasus pada umumnya berupaya untuk menggambarkan perbedaan individual atau variasi “unik” dari suatu permasalahan. Suatu kasus dapat berupa orang,peristiwa, program, insiden kritis/unik atau suatu komunitas dengan berupaya menggambarkan unit dengan mendalam, detail, dalam konteks dan secara holistik. Untuk itu dapat dikatakan bahwa secara umum, studi kasus lebih tepat digunakan untuk penelitian yang berkenaan dengan how atau why.


PROFESIONALISASI GURU


MAKALAH

PROFESIONALISASI GURU

Dosen pengampu : Dra. Ika Ernawati, M.Pd.





Disusun Oleh :
1.      RAKHMAN HABIBI             (11144200239)
2.      RAHMAT HADIANTO         (11144200228)




FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
BIMBINGAN DAN KONSELING
UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA
TAHUN AKADEMIK
2012

PROFESIONALISASI GURU

Abstrak
            Menjadi seorang guru diperlukan syarat-syarat khusus dan kompetensi tertentu apalagi sebagai guru yang profesional, ia harus menguasai seluk beluk pendidikan dan pengajaran dengan berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Guru merupakan jabatan profesi yang memerlukan keahlian khusus sebagaimana halnya dokter, apoteker, pengacara, dan lain lain. Masalah utama pekerjaan profesi adalah implikasi dan konsekwensi jabatan tersebut terhadap tugas dan tanggung jawabnya. Ciri-ciri pokok pekerjaan yang bersifat profesional, yakni: (1) dipersiapkan melalui proses pendidikan dan latihan secara formal, (2) mendapat pengakuan dari masyarakat, (3) adanya organisasi profesi dan (4) mempunyai kode etik sebagai landasan dalam  melaksanakan tugas. Banyak guru yang tidak memahami hakekat profesinya sehingga ia tidak bertindak profesional dalam  mengemban tugasnya. Kenyataan dilapangan mengindika-sikan bahwa jabatan guru masih jauh dari hakekat profesi keguruan, sehingga kurang mendapat penghargaan dan pengakuan di mata masyarakat. Intervensi penyelenggara pendidikan dan bahkan masyarakat terhadap pekerjaan guru semakin menurunkan derajat profesionalisme guru.

Pendahuluan

Hampir semua golongan masyarakat masih cenderung memandang bahwa guru merupakan pekerjaan profesi yang tingkatannya paling rendah dibanding profesi lain. Tidak seperti halnya dokter yang dipandang oleh masyarakat sebagai pekerjaan profesi yang derajatnya paling tinggi. Rendahnya pengakuan masyarakat terhadap profesi guru disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor pertama adalah adanya pandangan sebagian masyarakat bahwa siapa pun dapat menjadi guru asalkan ia berpengetahuan. Kekurangan tenaga guru di daerah terpencil, memberikan peluang untuk mengangkat seseorang yang tidak mempunyai kewenangan profesional. Faktor kedua adalah pandangan guru itu sendiri terhadap profesinya. Banyak guru yang tidak menghargai profesi yang disandangnya, dan tidak berusaha untuk mengembangkan profesi tersebut. Perasaan rendah diri karena menjadi guru, penyalahgunaan profesi untuk kepuasaan dan kepentingan dirinya, ketidakmampuan guru melaksanakan tugas profesinya, komersialisasi mengajar, dan lain-lain, sering menyebabkan pudarnya wibawa guru sehingga pengakuan profesi guru semakin merosot. Itulah sebabnya pengakuan dan usaha menegakkan profesi guru harus dimulai dari guru itu sendiri. Usaha yang dapat dilakukan harus dimulai dari pengakuan secara sadar akan makna profesi, menghargai dan mencintai tugas profesinya, serta berusaha untuk mengembangkan profesi yang disandangnya.
Di lain pihak, dapat dikatakan bahwa guru merupakan faktor penentu keberhasilan pendidikan, sebab guru memegang peranan utama dalam proses mengajar belajar yang merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan. Proses mengajar belajar merupakan proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal-balik yang berlangsung secara edukatif untuk mencapai tujuan tertentu.
Guru merupakan jabatan atau profesi yang memerlukan keahlian khusus. Pekerjaan ini tidak dapat dilakukan tanpa memiliki keahlian sebagai guru. Untuk menjadi guru, diperlukan syarat-syarat khusus dan kompetensi tertentu, apalagi sebagai guru yang profesional, ia harus menguasai seluk-beluk pendidikan dan pengajaran dengan berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Ilmu pengetahuan tersebut perlu dibina dan dikembangkan melalui masa pendidikan tertentu atau pendidikan prajabatan.
Jabatan guru memiliki tugas yang cukup banyak, baik yang terikat oleh dinas maupun di luar dinas. Pengelompokan tugas-tugas guru terdiri dari tiga jenis, yaitu: (1) tugas dalam bidang profesi, (2) tugas kemanusiaan, dan (3) tugas dalam bidang kemasyarakatan. Salah satu di antara ketiga tugas guru tersebut (yakni tugas dalam bidang profesi yang meliputi: mendidik, mengajar, dan melatih) akan dibahas secara singkat dalam makalah ini.

A.    Profesi Guru

1. Pengertian dan Karakteristik Profesi
Secara sederhana pekerjaan yang bersifat profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang secara khusus disiapkan untuk itu, dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak memperoleh pekerjaan lainnya. Kata-kata “dipersiapkan untuk itu” dapat diartikan melalui proses pendidikan atau dapat pula diartikan melalui proses latihan. Makin tinggi tingkat pendidikan yang harus dipenuhi oleh suatu pekerjaan yang bersifat profesi, makin tinggi pula derajat profesi yang harus disandang oleh orang yang menggelutinya. Dengan kata lain, tinggi rendahnya pengakuan profesionalisme bergantung kepada keahlian dan tingkat pendidikan yang ditempuhnya.
Sudjana (1998) mengemukakan empat ciri pokok pekerjaan yang bersifat profesional, yakni: (1) dipersiapkan melalui proses pendidikan dan latihan secara formal, (2) mendapat pengakuan dari masyarakat, (3) adanya organisasi profesi, dan (4) mempunyai kode etik sebagai landasan dalam melaksanakan tugas.
Schein (1972) mengemukakan ciri-ciri profesional sebagai berikut: (1) bekerja sepenuhnya dalam jam-jam kerja (fulltime), (2) pilihan pekerjaan itu didasarkan pada motivasi yang kuat, (3) memiliki seperangkat pengetahuan, ilmu, dan keterampilan khusus yang diperoleh lewat pendidikan dan atau latihan yang lama, (4) membuat keputusan sendiri dalam menyelesaikan pekerjaan atau menangani klien, (5) pekerjaan berorientasi kepada pelayanan, bukan untuk kepentingan pribadi, (6) pelayanan itu didasarkan atas kebutuhan objektif klien, (7) memiliki otonomi untuk bertindak dalam menyelesaikan persoalan klien, (8) menjadi anggota organisasi profesi, sesudah memenuhi persyaratan atau kriteria tertentu, (9) memiliki kekuatan dan status yang tinggi sebagai keahlian dalam spesialisasinya, dan (10) keahlian itu tidak boleh diiklankan untuk mencari klien.
Selanjutnya, dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia I Tahun 1988, juga telah ditentukan syarat-syarat suatu pekerjaan profesional, yaitu: (1) atas dasar panggilan hidup yang dilakukan sepenuh waktu serta untuk jangka waktu yang lama, (2) telah memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus, (3) dilakukan menurut teori, prinsip, prosedur, dan anggapan-anggapan dasar yang sudah baku sebagai pedoman dalam melayani klien, (4) sebagai pengabdian kepada masyarakat, bukan mencari keuntungan finansial, (5) memiliki kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif dalam melayani klien, (6) dilakukan secara otonom yang bisa diuji oleh rekan-rekan seprofesi, (7) mempunyai kode etik yang dijunjung tinggi oleh masyarakat, dan (8) pekerjaan dilakukan untuk melayani mereka yang membutuhkan (Pidarta, 1997).
Profesi pendidikan di Amerika Serikat memiliki karakteristik yang secara substantif tidak berbeda dengan hasil Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia I, yaitu: (1) sebagai pekerja sosial yang unik, jelas, dan penting, (2) menekankan teknik intelektual, (3) membutuhkan pendidikan spesialisasi dalam waktu panjang, (4) memerlukan otonomi yang luas sebagai individu ataupun organisasi profesi, (5) otonomi individu mendapat persetujuan dari organisasi profesi, (6) tekanan pada jasa lebih besar dibandingkan dengan hasil ekonomis, baik secara perseorangan maupun secara kelompok profesional, (7) memiliki organisasi profesi secara otonom, dan (8) ada kode etik yang jelas dan tegas. Karakteristik-karakteristik tersebut dikemukakan oleh Imran Manan (1989).
Ikatan Sarjana Pendidikan Indonesia (ISPI) (Pidarta, 1997) menyimpulkan bahwa ciri-ciri utama profesi adalah: (1) memiliki fungsi dan signifikansi sosial, (2) memiliki keahlian dan keterampilan tingkat tertentu, (3) memperoleh keahlian dan keterampilan melalui metode ilmiah, (4) memiliki batang tubuh disiplin ilmu tertentu, (5) studi dalam waktu lama di perguruan tinggi, (6) pendidikan tersebut juga merupakan wahana sosialisasi nilai-nilai profesional di kalangan mahasiswa/siswa yang mengikutinya, (7) berpegang teguh kepada kode etik yang dikontrol oleh organisasi profesi dengan sanksi-sanksi tertentu, (8) bebas memutuskan sendiri dalam memecahkan masalah bertalian dengan pekerjaannya, (9) memberi layanan sebaik-baiknya kepada klien dan otonom dari campur tangan pihak luar, dan (10) mempunyai prestise yang tinggi di masyarakat dan berhak mendapat imbalan yang layak.
Dari berbagai pendapat yang telah dikemukakan mengenai karakteristik profesi, dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri pekerja atau orang yang memangku jabatan profesional adalah sebagai berikut.
(1)          Memilih suatu jabatan atau pekerjaan profesi didasari atas motivasi yang kuat dan merupakan panggilan nurani orang yang bersangkutan.
(2)          Memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan khusus yang bersifat dinamis dan terus berusaha untuk mengembangkannya.
(3)          Ilmu pengetahuan dan keterampilan khusus yang dimiliki tersebut diperoleh melalui pendidikan dan atau latihan dalam jangka waktu yang lama.
(4)          Mempunyai otonomi dalam bertindak ketika melayani klien.
(5)          Mengabdi kepada masyarakat atau berorinetasi kepada layanan sosial, dan bukan untuk mendapatkan keuntungan finansial.
(6)          Tidak mengiklankan atau mempromosikan keahliannya untuk mendapatkan klien.
(7)          Menjadi anggota organisasi profesi.
(8)          Organisasi profesi tersebut menentukan persyaratan penerimaan anggota, membina profesi anggota, mengawasi perilaku anggota, memberi sanksi kepada anggota yang melanggar kode etik, dan memperjuangkan kesejahteraan anggota.
(9)          Menaati atau mematuhi kode etik profesi.
(10)      Mempunyai kekuatan dan status yang tinggi serta diakui oleh masyarakat sebagai konsekuensi keahlian yang ia miliki.
(11)      Berhak mendapat imbalan yang layak.

2. Profesionalisasi Guru dan Kompetensinya
            Bila diperhatikan karakteristik suatu pekerjaan yang bersifat profesional seperti telah dikemukakan di atas, maka akan tampak bahwa profesi guru tidak mungkin dapat dikenakan kepada sembarang orang yang dipandang oleh masayarakat umum sebagai guru. Pada umumnya masyarakat berpandangan bahwa pekerjaan guru yang berupa mendidik dan mengajar dapat dilakukan oleh siapa saja. Sebagaimana Pidarta (1997) mengemukakan bahwa kalau mendidik diartikan sebagai memberi nasehat, petunjuk, mendorong agar rajin belajar, memberi motivasi, menjelaskan sesuatu atau ceramah, melarang perilaku yang tidak baik, menganjurkan dan menguatkan perilaku yang baik, dan menilai apa yang telah dipelajari anak, maka memang hampir semua orang bisa melakukannya dan tidak perlu bersusah-payah membuat orang menjadi pendidik profesional. Namun demikian, apakah mendidik seperti ini dapat menjamin anak-anak untuk berkembang sempurna secara batiniah dan lahiriah?
Untuk memperjelas masalah di atas, kita harus memahami dengan baik pengertian mendidik. Pekerjaan mendidik mencakup banyak hal, yaitu segala sesuatu yang bertalian dengan perkembangan manusia. Kadang orang mengatakan bahwa mendidik adalah me-manusiakan manusia. Ada pula yang mengemukakan bahwa mendidik adalah membudayakan manusia. Pengertian mendidik yang relatif operasional dikemukakan oleh Pidarta (1997) bahwa mendidik adalah suatu upaya untuk membuat anak-anak mau dan dapat belajar atas dorongan diri sendiri untuk mengembangkan bakat, pribadi, dan potensi-potensi lainnya secara optimal. Lebih lanjut dikemukakan bahwa mendidik memusatkan diri pada upaya pengembangan afeksi anak-anak, sesudah itu barulah pada pengembangan kognisi dan keterampilannya. Berkembangnya afeksi yang positif terhadap belajar, merupakan kunci keberhasilan belajar berikutnya, termasuk keberhasilan dalam meraih prestasi kognisi dan keterampilan. Bila afeksi anak sudah berkembang secara positif terhadap belajar, maka guru, orang tua, maupun anggota masyarakat tidak perlu bersusah payah membina mereka agar rajin belajar. Apa pun yang terjadi mereka akan belajar terus untuk mencapai cita-citanya.
Melakukan pekerjaan mendidik seperti yang telah dikemukakan di atas tidaklah gampang. Hanya orang-orang yang sudah belajar banyak tentang pendidikan dan sudah terlatih yang mampu melaksanakannya. Ini berarti pekerjaan mendidik memang harus profesional.
Guru harus dapat membangkitkan minat dan kemauan anak untuk belajar, memahami cara belajar, senang belajar, dan tidak pantang mundur untuk belajar meskipun banyak rintangan yang dihadapi. Inilah tuntutan masayarakat sebagai konsekuensi jabatan profesi yang disandang oleh guru. Hal ini cukup beralasan sebab guru telah dibekali ilmu pendidikan dan ilmu tertentu untuk diajarkan selama menjalani studi dalam waktu yang relatif cukup lama. Dengan cara mendidik seperti yang telah dikemuakan, citra pendidikan di mata masyarakat dapat terdongkrak. Ini pula merupakan tantangan bagi para pendidik bila ingin profesinya mendapat pengakuan dan tidak diragukan oleh masyarakat.
Sekilas Mengenai Kondisi Guru di Lapangan
            Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak guru yang melakukan tugasnya hanya dengan mengajar, membuat satuan pelajaran, membuat rencana pelajaran, membuat alokasi waktu dalam bentuk program tahunan dan program caturwulan, melakukan evaluasi hasil belajar yang hanya terbatas pada aspek kognitif siswa, dan menganalisis daya serap siswa. Ia cenderung tidak mempedulikan kondisi psikologis yang terjadi pada siswa di kala proses mengajar belajar berlangsung karena mengejar target kurikulum. Hal ini dilakukan oleh guru karena takut “dimarahi” oleh kepala sekolah bila target kurikulum belum tercapai. Ada juga guru (untuk mata pelajaran tertentu) yang malas memeriksa hasil ulangan siswa karena kepala sekolah telah menginstruksikan batas minimum nilai yang harus dimasukkan ke buku rapor. Guru tersebut beranggapan bahwa untuk apa diperiksa, toh nilainya juga sudah ada patokannya. Adanya patokan nilai seperti ini akan memberikan peluang kepada guru untuk memanipulasi nilai. Sudah tentulah kondisi dan tindakan seperti ini tidak memenuhi kriteria keprofesionalan. Dengan kata lain ia tidak bertindak secara profesional sebagai seorang guru. Dengan demikian, harus diakui bahwa masih ada guru di lapangan yang belum atau kurang profesional. Dan hal inilah yang selalu disorot oleh masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan sejumlah cara dan tempat untuk mengembangkan profesi guru.
Kurang profesionalnya guru dalam bertindak, tidak sepenuhnya dan kurang bijaksana bila kita hanya menuding bahwa hanya guru tersebutlah yang tidak profesional. Sebab pihak penyelenggara pendidikan (kepala sekolah, kakandep, kakanwil, beserta seluruh jajarannya) kadang kala kurang menghargai jabatan profesi guru seperti kenyataan yang saya ungkapkan di atas. Dengan demikian, para penyelenggara pendidikan pun perlu ditingkatkan derajat keprofesionalannya dalam menjalankan tugas dan memangku jabatannya.
Demikianlah sekelumit pandangan penulis mengenai guru di lapangan dan pihak penyelenggara pendidikan. Berikut ini akan dikemukakan mengenai tugas dan tanggung jawab guru beserta kompetensinya sebagai bagian yang takterpisahkan dengan tugas profesinya.
Arifin (2000) mengemukakan guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan mempunyai; (1) dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21; (2) penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia; (3) pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara lembaga pendidikan yang menyediakan layanan sebagai pencetak guru dengan praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena berbagai pertimbangan.
Mengembangkan profesi tenaga pendidik bukan sesuatu yang mudah. Hal ini disebabkan banyak faktor yang dapat mempengaruhinya. Untuk itu pencermatan lingkungan dimana pengembangan itu dilakukan menjadi penting, terutama bila faktor tersebut dapat menghalangi upaya pengembangan tenaga pendidik. Pengembangan profesi tenaga pendidik pada dasarnya hanya akan berhasil dengan baik apabila dampaknya dapat menumbuhkan sikap inovatif. Sikap inovatif ini akan makin memperkuat kemampuan profesional tenaga pendidik. Menurut Prof Idochi diperlukan tujuh pelajaran guna mendorong tenaga pendidik bersikaf inovatif serta dapat dan mau melakukan inovasi. Ketujuh pelajaran itu adalah sebagai berikut :
1. Belajar kreatif
2. Belajar seperti kupu-kupu
3. Belajar keindahan dunia dan indahnya jadi pendidik
4. Belajar mulai dari yang sederhana dan konkrit
5. Belajar rotasi kehidupan
6. Belajar koordinasi dengan orang profesional
7. Belajar ke luar dengan kesatuan fikiran
Ketujuh pelajaran di atas merupakan pelajaran penting bagi tenaga pendidik dalam upaya mengembangkan diri sendiri menjadi orang profesional. Dalam kaitan ini, ketujuh pelajaran tersebut membentuk suatu keterpaduan dan saling terkait dalam membentuk tenaga pendidik yang profesional dan inovatif.

Tugas dan Tanggung Jawab Guru Beserta Kompetensinya
Masalah utama pekerjaan profesi adalah implikasi dan konsekuensi jabatan tersebut terhadap tugas dan tanggung jawabnya. Hal ini sangat penting karena di sinilah perbedaan pokok antara profesi yang satu dengan profesi yang lainnya.
Menurut Peters (1963), tugas dan tanggung jawab guru terdiri dari: (1) guru sebagai pengajar, (2) guru sebagai pembimbing, dan (3) guru sebagai administrator kelas. Pendapat lain dikemukakan oleh Usman (1994) yang mengelompokan tugas-tugas guru atas tiga jenis, yaitu: (1) tugas dalam bidang profesi, yang meliputi: mendidik, mengajar, dan melatih, (2) tugas kemanusiaan, dan (3) tugas dalam bidang kemasyarakatan. Bila kedua pendapat ini dikaji, maka pendapat Usman lebih luas dibanding pendapat Peters. Dalam situasi di lapangan, tugas dan tanggung jawab guru yang menonjol adalah sebagai pengajar dan administrator kelas. Tugas mendidik belum membudaya di kalangan para guru, padahal hal itu termasuk konsekuensi dari jabatan profesional yang disandangnya. Memang tugas mendidik itu cukup berat, sebab pekerjaan mengajar, membimbing, melatih, dan memfungsikan diri sebagai orang tua di sekolah termasuk pekerjaan mendidik. Dengan demikian, secara sederhana dapat dikatakan bahwa bila guru telah melakukan pekerjaan mendidik maka guru tersebut juga telah melakukan tugas-tugas lainnya. Jadi tugas pokok seorang guru adalah mendidik. Pencantuman dan pengelompokan beberapa tugas lainnya hanyalah untuk mengeksplisitkan saja agar kelihatan lebih operasional.
Guru dalam melaksanakan tugasnya harus mempunyai kemampuan dasar yang disebut kompetensi. Menurut Sudjana (1998), kompetensi tersebut terdiri dari tiga bidang, yaitu: (1) kompetensi bidang kognitif, (2) kompetensi bidang sikap, dan (3) kompetensi bidang perilaku/performance.
Kompetensi bidang kognitif, artinya kemampuan intelektual yang dimiliki oleh guru, seperti penguasaan materi pelajaran, pengetahuan mengenai cara mengajar, pengetahuan mengenai belajar dan tingkah laku individu, pengetahuan tentang bimbingan penyuluhan, pengetahuan tentang administrasi kelas, pengetahuan tentang cara menilai hasil belajar siswa, pengetahuan tentang kemasyaralatan serta pengetahuan umum lainnya.
Kompetensi bidang sikap, artinya kesiapan dan kesediaan guru terhadap berbagai hal yang berkenaan dengan tugas dan profesinya. Misalnya sikap menghargai pekerjaannya, mencintai dan memiliki perasaan senang terhadap mata pelajaran yang dibinanya, sikap toleransi terhadap rekan seprofesinya, memiliki kemauan yang kers untuk meningkatkan hasil pekerjaannya.
Kompetensi perilaku/performance, artinya kemampuan guru dalam berbagai keterampilan dan berperilaku, seperti keterampilan mengajar, membimbing, menilai, menggunakan alat bantu pengajaran, bergaul atau berkomunikasi dengan siswa, keterampilan menumbuhkan semangat belajar siswa, keterampilan merancang dan menyusun persiapan mengajar, keterampilan melaksanakan administrasi kelas, dan lain-lain.
Kompetensi kognitif berkenaan dengan aspek teori atau pengetahuan, sedangkan kompetensi perilaku berkenaan dengan praktek pelaksanaan sebagai implementasi dari teori atau pengetahuan yang dimiliki oleh guru. Komptensi guru dalam bidang sikap berkenaan dengan aspek psikologis, terutama yang terkait dengan tugas dan tanggung jawabnya yang merupakan implikasi dari jabatan profesi yang disandangnya. Ketiga bidang kompetensi tersebut saling berhubungan dan saling mempengaruhi satu sama lain.
            Kompetensi guru di Indonesia telah dikembangkan oleh Proyek Pembinaan Pendidikan Guru (P3G) Depdikbud. Pada dasarnya kompetensi guru menurut P3G bertolak dari analisis tugas seorang guru. Ada sepuluh kompetensi guru menurut P3G, yaitu sebagai berikut:
(1)   menguasai bahan,
(2)   mengelola program belajar mengajar,
(3)   mengelola kelas,
(4)   menggunakan media/sumber belajar,
(5)   menguasai landasan kependidikan,
(6)   mengelola interaksi belajar mengajar,
(7)   menilai prestasi siswa,
(8)   mengenal fungsi dan layanan bimbingan penyuluhan,
(9)   mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah, dan
(10)      memahami dan menafsirkan hasil penelitian guna keperluan pengajaran.
3. Kode Etik Guru
            Seorang guru adalah seorang pekerja profesional yang mendapat pendidikan dan keahlian untuk mencapai kualifikasi tertentu. Dalam kegiatan belajar mengajar, guru berhubungan dengan pertimbangan nilai-nilai. Pendidikan berhubungan erat dengan transformasi nilai-nilai dari masyarakat kepada anak didik atau dari diri guru itu sendiri kepada siswa. Dalam kaitan tersebut, diperlukan etika profesi keguruan. Jadi etika profesi keguruan adalah ketentuan-ketentuan moral atau kesusilaan yang merupakan pedoman bagi guru dalam melakukan tugasnya. Kode etik guru di Indonesia dilahirkan oleh Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Kode etik tersebut adalah sebagai berikut:
(1)   berbakti dalam membimbing peserta didik,
(2)   memiliki kejujuran profesional dalam melaksanakan kurikulum sesuai dengan kebutuhan masing-masing peserta didik,
(3)   mengadakan komunikasi untuk mendapatkan informasi tentang peserta didik,
(4)   menciptakan suasana belajar yang kondusif dan mengadakan hubungan dengan orang tua siswa,
(5)   memelihara hubungan dengan masyarakat untuk kepentingan pendidikan,
(6)   secara individual atau berkelompok mengembangkan profesi,
(7)   menciptakan dan memelihara hubungan baik antarpendidik,
(8)   secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi profesi, dan
(9)   melaksanakan segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan.

PENUTUP

Demikianlah uraian mengenai profesionalisasi guru yang sempat penulis paparkan dalam makalah ini. Uraian tersebut agaknya bersifat harapan, sebab harus diakui bahwa beberapa kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa jabatan guru masih jauh dari profesi guru yang sesungguhnya, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa mereka itu “berstatus guru”. Dengan kata lain, kita masih harus banyak berbenah diri untuk menjadi guru yang profesional, meskipun kita telah “berstatus guru”. Ini merupakan suatu tantangan bagi para guru untuk mendongkrak derajat profesinya agar mendapat penghargaan dan pengakuan di mata masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M., 1996. Guru dalam Proses Belajar Mengajar. Cetakan Kesembilan. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Kartikawati, E. dan Willem Lusikooy, 1993. Profesi Keguruan. Depdikbud Ditjen Dikdasmen, Bagian Proyek Penataran Guru SLTP Setara D-III, Jakarta.

Manan, I., 1989. Dasar-dasar Sosial Budaya Pendidikan. Depdikbud Ditjen Dikti. Jakarta: P2LPTK.

Peters, B. and Farwell, 1963. Introduction to Teaching. New York: McMillan Company.

Pidarta, M., 1997. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Schein, E.H. and Diane W. Kommers, 1972. Professional Education. New York: McGraw Hill Book Company.

Sujdana, N., 1998. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Cetakan Keempat. Bandung: Sinar Baru Algesindo.

Usman, M.U., 1994. Menjadi Guru Profesional. Cetakan Kelima. Bandung: Remaja Rosdakarya.